HGU di Paya Pinang Telah Habis Sejak 2013, Status Tanah Perlu Ditinjau Ulang Sesuai Undang-Undang Agraria
Kecamatan Tebing Tinggi,Sergai , Sumatera Utara —Polemik mengenai lahan di Paya Pinang kembali mencuat setelah terungkap bahwa Hak Guna Usaha (HGU) atas areal tersebut telah berakhir sejak tahun 2013 dan hingga kini belum ada perpanjangan atau pembaruan izin HGU dari pihak yang bersangkutan. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan serius terkait status hukum dan tata kelola tanah negara di wilayah tersebut.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), disebutkan bahwa Hak Guna Usaha (HGU) diberikan untuk jangka waktu maksimal 35 tahun, dapat diperpanjang hingga 25 tahun, dan diperbarui setelahnya jika masih memenuhi syarat sesuai ketentuan perundang-undangan. Namun, apabila masa berlaku HGU berakhir dan tidak diperpanjang, maka tanah tersebut secara hukum kembali menjadi tanah negara.
Menurut informasi yang dihimpun, lahan di Paya Pinang selama ini masih dimanfaatkan oleh pihak tertentu meskipun masa HGU-nya telah habis. Hal ini menimbulkan dugaan adanya pelanggaran tata kelola aset negara serta potensi penyalahgunaan lahan yang semestinya sudah kembali ke negara atau masyarakat melalui mekanisme reforma agraria.
Sejumlah tokoh masyarakat dan aktivis pertanahan menilai bahwa pemerintah daerah maupun Badan Pertanahan Nasional (BPN) harus segera mengambil langkah tegas untuk meninjau kembali status lahan tersebut.
“Jika benar HGU sudah berakhir sejak 2013, maka segala bentuk aktivitas komersial di atas tanah itu tidak memiliki dasar hukum yang sah. Negara harus hadir menegakkan aturan agraria,” ujar seorang pemerhati kebijakan agraria di Langkat.
Sesuai dengan Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang HGU, HGB, dan Hak Pakai atas Tanah, apabila HGU telah habis masa berlakunya dan tidak diperpanjang, maka tanah itu harus dikembalikan kepada negara. Negara kemudian dapat menetapkan peruntukannya — apakah untuk kepentingan umum, redistribusi kepada masyarakat, atau diberikan kepada badan hukum lain melalui mekanisme baru yang sah.
Dalam konteks ini, masyarakat Paya Pinang berharap agar pemerintah meninjau ulang seluruh proses pengelolaan tanah eks-HGU, mengingat banyaknya warga yang telah lama bermukim dan bercocok tanam di area tersebut.
“Kami sudah tinggal dan menggarap tanah itu puluhan tahun. Jika memang HGU-nya sudah habis, kami berharap pemerintah memberikan hak kelola kepada masyarakat kecil, bukan dikembalikan kepada perusahaan yang lalai memperpanjang izinnya,” ujar salah satu warga Paya Pinang.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) diharapkan segera melakukan audit lapangan, verifikasi status hukum tanah, dan membuka data HGU secara transparan kepada publik, sesuai amanat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).
Langkah ini diharapkan menjadi momentum penting bagi pemerintah untuk menegakkan kedaulatan agraria nasional, mendorong reforma agraria berkeadilan, serta memastikan tanah negara dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, sebagaimana amanat Pasal 33 UUD 1945.
(TIM)