DELI SERDANG— Ketua Hipakad 63 Sumatera Utara, Edi Susanto, menegaskan bahwa Kementerian ATR/BPN harus benar-benar menjalankan amanat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 dan tidak menyimpang dari prinsip dasar penguasaan tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Salah satu program yang dianggap penting sebagai langkah awal adalah GEMAPATAS (Gerakan Masyarakat Pemasangan Tanda Batas).
Menurut Edi, program ini merupakan momentum penting negara dalam menghapus berbagai praktik ketidakadilan agraria yang selama ini membelenggu rakyat, namun ia menilai pelaksanaannya di Sumatera Utara masih jauh panggang dari api.
“Kinerja jajaran Kementerian ATR/Agraria sudah jauh menyimpang dari UUPA. Ketentuan Domein Verklaring yang sudah dihapus oleh UUPA masih saja dijadikan alasan merampas tanah hunian rakyat yang sudah puluhan tahun mereka kuasai,” tegas Edi.
Hipakad 63 Soroti Sejumlah Penyimpangan Agraria
Edi menyebut sejumlah pelanggaran dan pengabaian terhadap amanat UUPA, termasuk:
Masih adanya klaim “tanah negara” tanpa dasar hak yang jelas dan tanpa menunjukkan sertifikat tanah milik negara yang sah.
Pengabaian fungsi sosial tanah, penghormatan terhadap hak ulayat, dan prinsip tanpa monopoli tanah oleh pihak asing, sebagaimana tercantum dalam Memori Penjelasan UUPA.
Ketua Edi juga menyoroti ketidakpatuhan jajaran Kementerian ATR/BPN dalam menerapkan asas pendaftaran tanah yang sederhana, terjangkau, dan transparan sebagaimana diatur dalam PP 24/1997 dan Permeneg Agraria 3/1997.
“Rakyat dipersulit mendaftarkan tanahnya. Kepastian hukum tidak diberikan. Informasi ditutup-tutupi. Bahkan permintaan pemasangan batas tanah rakyat dengan tanah negara pun ditolak tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan,” ungkapnya.
Dugaan Intimidasi dan Diskriminasi terhadap Rakyat
Ketua Edi menyesalkan tindakan represif yang dialami rakyat di Deli Serdang, Binjai, dan Langkat yang disebut sebagai “okupasi”, padahal menurutnya itu merupakan bentuk persekusi karena:
dilakukan tanpa sosialisasi dan dasar hak atas tanah yang otentik,
melibatkan oknum aparat dan ormas/kelompok tertentu,
mengabaikan alas hak rakyat yang sah.
“Rakyat diperlakukan semena-mena, tanah dirampas, rumah dihancurkan. Setelah dirampok, rakyat malah diperas lagi dengan pungutan liar seperti SPS, BPHTB, uang ukur dan seterusnya,” tegas Ketua Edi.
Hipakad 63 juga mengungkap temuan di lapangan terkait penggunaan tanah ribuan hektar oleh perusahaan perkebunan negara/swasta yang diduga menggunakan HGU cacat administrasi, bahkan tanpa rekomendasi menteri dan tanpa membayar pemasukan ke kas negara.
Merugikan Negara dan Rakyat
Menurut Ketua Edi, kegagalan menjalankan GEMAPATAS dan penelantaran data batas tanah justru:
1. Merugikan Negara
Perusahaan dapat memakai tanah negara secara ilegal tanpa bayar PBB maupun kewajiban lainnya.
Negara berpotensi kehilangan pemasukan hingga triliunan rupiah.
2. Merugikan Rakyat
Rakyat mudah ditindas dan dirampas tanahnya atas nama kepentingan perkebunan yang berkolaborasi dengan elit daerah dan oknum aparat.
Desak Pelaksanaan GEMAPATAS di Sumut
Ikatan Keluarga Anak Melayu Serdang (IKAMS) dan Hipakad 63 telah melayangkan surat resmi ke Kementerian ATR/BPN, Kanwil Sumut, dan Kantor Pertanahan di kabupaten/kota untuk:
penetapan batas tanah rakyat — tanah negara,
penghormatan hak ulayat,
keterbukaan informasi atas HGU yang diklaim perkebunan.
“Kami tidak mencari konflik. Kami hanya menuntut hak rakyat yang dipijak turun temurun. Tanah adalah ruang hidup dan masa depan keluarga kami,” tegas Abdullah.
IKAMS menyatakan akan terus mengawal perjuangan rakyat dan menguji keberpihakan pemerintah.
“Kita lihat, apakah masih ada nurani dan kemanusiaan elit pusat dan daerah terhadap rakyat kecil, atau justru rakyat dijadikan objek kekuasaan,” tutupnya.
(TIM)




.png)
