Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan WJMB

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Daging Ini Halal Bagi Kami, Tapi Haram Bagi Tuan

Selasa, 16 Desember 2025 | Desember 16, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-12-17T03:59:52Z

Daging Ini Halal Bagi Kami, Tapi Haram Bagi Tuan 





Medan- 16 Desember 2025

Terdapat sebuah cerita rakyat yang terkenal dalam khazanah Islam, merujuk pada kisah seorang ulama besar abad ke-8, Abu Abdurrahman Abdullah bin al-Mubarak bin Wadhih al-Handzali al-Marwazi, yang lebih dikenal dengan nama Ibnu al-Mubarak.



Ibnu al-Mubarak dikenal sebagai ahli hadis, seorang zahid, sekaligus mujahid yang saleh. Ia juga seorang saudagar kaya raya yang sering melakukan perjalanan jauh untuk menuntut ilmu, berdagang, dan berjihad, sehingga mendapat julukan As-Saffar (sang pengembara).



Kisah tersebut menceritakan tentang seorang fakir miskin yang terpaksa memakan daging keledai bangkai karena kondisi darurat akibat kelaparan ekstrem. Dalam keadaan tersebut, daging bangkai menjadi halal baginya demi mempertahankan hidup. Namun, daging yang sama tetap haram bagi Ibnu al-Mubarak, karena beliau tidak berada dalam kondisi darurat.



Dari kisah ini, kita dapat menarik pelajaran penting tentang hukum darurat (dharurat) dalam Islam:
bahwa sesuatu yang haram dapat menjadi halal hanya untuk mencegah mudharat yang lebih besar, dan hanya berlaku bagi mereka yang benar-benar terpaksa.




Sebaliknya, hukum darurat tidak dapat dibenarkan bagi mereka yang hidup berkecukupan, apalagi bergelimang harta dan kekuasaan.



Jika kisah ini kita korelasikan dengan kondisi hari ini, maka yang seharusnya mendapatkan keringanan dalam kondisi darurat adalah para korban bencana, masyarakat yang terpuruk, tidak berdaya, dan kehilangan segalanya.




Demikian pula dengan masyarakat miskin di perkotaan maupun perdesaan yang mengalami kelaparan akut, di mana untuk membeli satu kilogram beras saja mereka harus berutang di warung tetangga.



Namun fakta yang kita saksikan justru berbanding terbalik.




Berbagai pemberitaan di televisi, media cetak, media daring, hingga media sosial memperlihatkan bagaimana para pemangku kekuasaan, mulai dari unsur eksekutif, legislatif, hingga yudikatif, justru melakukan tindakan kriminal berupa penjarahan, perampokan, dan korupsi—perbuatan yang jelas-jelas diharamkan oleh agama dan dilarang oleh konstitusi negara.




Ironisnya, praktik kejahatan serupa juga melibatkan oknum dari tentara, kepolisian, dan kejaksaan, yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga hukum dan keadilan.



Kondisi ini menegaskan bahwa krisis moral dan etika kekuasaan sedang berlangsung secara serius.



Oleh karena itu, menjadi tugas kita bersama untuk menjalankan fungsi kontrol sosial demi keberlangsungan kehidupan beragama dan bernegara yang bermartabat.



Para tokoh agamaakademisi kampusaktivis, dan jurnalis harus terus bersuara sebagai poros tengah yang independen, berpihak hanya pada kebenaran, bukan pada kekuasaan.




Kita tidak boleh diam, tidak boleh pasrah, dan tidak boleh menyerah—meski intimidasi, tekanan ekonomi, bahkan ancaman nyawa menghantui mereka yang berani mengungkap kebenaran.



Sebab, ketika kebenaran dibungkam, maka kezaliman akan merasa aman.
Dan ketika kezaliman dibiarkan, maka kehancuran hanya tinggal menunggu waktu.


Sumber : M.Mas'ud Silalahi 



×
Berita Terbaru Update