Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan Yayasan

Iklan 3

Indeks Berita

Tag Terpopuler

MEKANISME PENGAJUAN RESTITUSI TERHADAP ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM

Jumat, 02 Mei 2025 | Mei 02, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-05-02T10:11:06Z

MEKANISME PENGAJUAN RESTITUSI TERHADAP ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM





Kondios Meidarlin Pasaribu
Mahasiswa Program Studi Doktor Ilmu Hukum
Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara
NIM: 248101008


Medan,02 Mei 2025

Perlindungan terhadap anak di Indonesia masih menjadi isu yang serius, meskipun secara normatif telah diatur dalam berbagai regulasi, salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Perlindungan anak harus menjadi prioritas dalam setiap kebijakan dan implementasi sistem hukum. Koordinasi antarinstansi serta komitmen kuat dari seluruh pemangku kepentingan sangat diperlukan untuk menjamin hak-hak anak, terutama anak sebagai korban tindak pidana.



Salah satu wujud perlindungan hukum terhadap anak korban kejahatan adalah mekanisme pengajuan restitusi, yakni ganti kerugian baik secara materil maupun imateril. Dasar hukum pelaksanaan restitusi terdapat dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang menjadi Korban Tindak Pidana. Regulasi ini merupakan amanat dari Pasal 71D ayat (2) UU 35/2014.



Restitusi didefinisikan dalam PP 43/2017 Pasal 1 ayat (1) sebagai pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian yang diderita korban atau ahli warisnya.



Mekanisme Pengajuan Restitusi


Sebelum diberlakukannya PP 43/2017, mekanisme restitusi mengacu pada Pasal 48 UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yang memberikan dua jalur pengajuan:

  1. Melalui pelaporan ke kepolisian – Restitusi dimasukkan dalam proses pidana sejak pelaporan awal.

  2. Melalui gugatan perdata – Korban atau keluarganya dapat mengajukan gugatan secara mandiri ke Pengadilan Negeri.

Setelah PP 43/2017 berlaku, prosedur restitusi menjadi lebih terstruktur. Saat korban melaporkan kasusnya ke kepolisian, penyidik wajib memasukkan unsur restitusi dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Saat berkas perkara dilimpahkan ke kejaksaan, penuntut umum berkewajiban memberitahukan hak restitusi kepada korban dan mencantumkan nilai kerugian dalam surat tuntutan.



Hakim dalam putusannya wajib mencantumkan amar terkait restitusi. Uang restitusi dapat dititipkan di pengadilan dan diserahkan kepada korban maksimal 14 hari setelah putusan berkekuatan hukum tetap.



Selain itu, PP No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban juga mengatur bahwa permohonan restitusi dapat diajukan secara tertulis melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Dalam hal ini, LPSK memiliki waktu 7 hari kerja untuk memeriksa kelengkapan dokumen dan memberitahu pemohon jika ada kekurangan. Setelahnya, pemohon memiliki waktu 14 hari untuk melengkapi permohonannya.



Perlindungan anak korban kejahatan tidak hanya tentang pemulihan fisik dan psikologis, namun juga tentang pemulihan keadilan melalui mekanisme restitusi yang efektif. Oleh karena itu, penting untuk terus mensosialisasikan hak restitusi ini kepada masyarakat luas, serta meningkatkan kapasitas aparat penegak hukum dan LPSK dalam menjalankan fungsinya secara profesional dan responsif terhadap kebutuhan anak korban.(Gajah)

×
Berita Terbaru Update