Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan WJMB

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Diduga HGU Cacat dan Pengabaian Batas Tanah Negara–Rakyat, Konflik Agraria di Sumut Kian Mengkhawatirkan

Rabu, 17 Desember 2025 | Desember 17, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-12-17T10:40:07Z

Diduga HGU Cacat dan Pengabaian Batas Tanah Negara–Rakyat, Konflik Agraria di Sumut Kian Mengkhawatirkan





Medan, Sumatera Utara — Konflik agraria di Sumatera Utara kembali mencuat. Tim masyarakat sipil dan tokoh adat Melayu Sumut menyoroti dugaan kelalaian dan/atau kesengajaan (culpa maupun dolus) Kantor Wilayah Pertanahan Provinsi Sumatera Utara serta Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dalam menangani batas-batas Tanah Negara dan Tanah Rakyat.



Menurut temuan tim, terdapat sedikitnya lima Sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) yang diduga cacat administrasi, aspal, atau hanya berbasis surat bawah tangan, namun digunakan oleh perusahaan perkebunan negara untuk menguasai lahan ribuan hingga puluhan ribu hektare di wilayah Deli Serdang, Binjai, dan Langkat.




Ironisnya, tanah yang diduga berstatus Tanah Negara tersebut disebut digunakan tanpa pembayaran uang pemasukan ke kas negara, bahkan disewakan atau dialihfungsikan ke sektor properti.




Sementara itu, masyarakat yang telah memiliki alas hak, hunian, dan ladang justru mengalami pengusiran, intimidasi, kekerasan fisik, serta perusakan tempat tinggal, yang dalam beberapa kasus melibatkan aparat.

“Permintaan resmi masyarakat untuk klarifikasi dan peletakan batas tanah berulang kali dihindari. Negara hadir bukan sebagai pelindung rakyat, tetapi sebagai alat legitimasi perampasan,” ujar Fadli Kaukibi, SH., CN, tokoh Melayu Sumut dan Penasehat DPW HIPAKAD 63 Sumut.




Negara Hukum Dipertanyakan

Tim menilai penolakan peletakan batas tanah serta pengabaian transparansi pertanahan bertentangan dengan:

  • UUPA 1960,

  • Asas Negara Hukum (Rechtsstaat),

  • Pancasila, dan

  • Alinea IV Pembukaan UUD 1945.

Dalam perspektif hukum tata negara dan administrasi negara, kondisi ini mencerminkan pergeseran praktik dari negara hukum menuju negara kekuasaan (Machtsstaat), di mana kewenangan negara dijalankan secara sewenang-wenang dan berpihak pada kepentingan ekonomi besar.



Aparat Penegak Hukum Dinilai Tidak Netral



Lebih jauh, Aparat Penegak Hukum (APH) — Kepolisian, Kejaksaan, dan Kehakiman — dinilai tidak lagi menjadi benteng keadilan, melainkan kerap tampil sebagai pengaman kepentingan penguasa dan korporasi, terutama dalam konflik agraria.

Eksploitasi sumber daya alam, pembalakan hutan, pertambangan, hingga penguasaan ruang udara dan darat disebut berlangsung masif, sementara masyarakat lokal menanggung dampak sosial, ekonomi, dan ekologis yang berat.

Ujian bagi Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto

Situasi ini disebut sebagai ujian awal komitmen Presiden Prabowo Subianto terhadap:

  • Penegakan negara hukum,

  • Reforma agraria sejati,

  • Perlindungan rakyat kecil,

  • Konsistensi terhadap Pancasila dan UUD 1945.

“Sumatera Utara adalah cermin. Jika konflik agraria struktural ini dibiarkan, maka janji negara untuk melindungi segenap bangsa tinggal slogan,” tegas pernyataan tim.

Tuntutan Masyarakat

Tim dan masyarakat terdampak mendesak:

  1. Audit dan peninjauan ulang seluruh HGU bermasalah,

  2. Peletakan batas tanah negara dan tanah rakyat secara transparan dan partisipatif,

  3. Penghentian kriminalisasi dan kekerasan terhadap rakyat,

  4. Pembukaan data pertanahan kepada publik,

  5. Pertanggungjawaban hukum pejabat yang lalai atau menyalahgunakan kewenangan.

Masyarakat berharap pemerintah pusat, khususnya Kementerian ATR/BPN, TNI, dan institusi terkait, menunjukkan political will nyata untuk meluruskan persoalan agraria dan mengembalikan marwah negara hukum.


(TIM)



×
Berita Terbaru Update